Followers

Sabtu, 13 Agustus 2011

Kejutan di Angka Sial

Diah Eka Puteri

Senja hari yang teduh , Ririn, Dea, Gilang, Reisha, dan Vino sedang menikmati kue cokelat yang dibuat oleh Ibu Ririn di halaman belakang rumah Ririn. Sudah lama mereka tidak bertemu. Mungkin hampir lima tahun. Mereka berlima sudah bersahabat sejak kelas 1 SMA, tapi karena memiliki cita-cita yang berbeda, mereka harus berpisah untuk melanjutkan pendidikan masing-masing. Ririn yang mempunyai hobi menggambar manga mengambil kuliah di Jepang, tepatnya di Tokyo Polytechnic University. Lulus dari sana, dia sudah bisa menerbitkan tiga komik. Lalu, Dea yang terbiasa menyanyi di gereja dan sangat mengidolakan Mariah Carey masuk ke Cornish College of the Arts, yang terletak di Washington DC, Amerika Serikat. Gilang dengan keterampilannya di bidang IT masuk ke Nanyang Technological University, di Singapura. Lain halnya dengan Reisha dan Vino. Kakak-adik ini hanya bisa melanjutkan sekolah di Indonesia, karena keluarga mereka tidak mampu membiayai. Bukan seperti Dea, Ririn, dan Gilang yang mempunyai orangtua yang kaya, sekolah dimana pun yang mereka mau tidak jadi masalah.
“Lama banget, kita nggak ngumpul kayak gini. Muka kalian nggak berubah, ya. Masih ada panunya. Haha,” kata Gilang sambil mengunyah kue coklatnya.
“Sialan. Kau sendiri. Perutmu nggak kurus-kurus juga, masih gendut. Di sana nggak pernah olahraga, ya, Lang?” kata Ririn gemas dengan perkataan Gilang. Tentu saja perkataan Gilang tidak benar. Ririn, walaupun sering berada di kamarnya untuk menggambar manga, dia tidak akan lupa untuk ke salon saat hari libur kuliah. Selain itu, jika dosennya tidak datang mengajar, dia akan menggunakan waktu itu untuk ke salon langganannya. Jadi, tidak heran rambutnya sangat stylish, dan wajahnya tampak dewasa dengan riasan wajah yang tidak mencolok, seperti karakter manga yang dia gambar. Gilang yang gendut dengan humornya, tidak banyak berubah. Hanya saja, saat ini dia telah memakai kacamata. Ketika ditanya mengapa dia memakai kacamata, dia menjawab hanya untuk gaya-gayaan. Lalu si kembar Vino dan Reisha walaupun lahir dengan selisih waktu satu menit, tapi wajah mereka tidaklah mirip. Reisha sebagai kakak, memiliki wajah yang selalu ceria sedangkan, Vino memiliki wajah yang teduh seperti wajah orang yang sedang putus asa. Dea lah yang paling banyak berubah. Dulu dia memakai kacamata dan sering memakai baju norak. Sekarang, kacamata yang bertengger dihidungnya sudah tidak ada dan pakaian yang dipakainya sangat fashionable.
“Wah, Ea. Kacamatamu kemana sudah? “ tanya Reisha.
“Tuh dipakai Gilang. Saking kerennya tuh kacamata, dia merenggek sama aku buat dia pake. Haha,” gurau Dea.
“Eh, enak aja!” sergah Gilang. “Kacamata yang gede itu, kau bilang keren. Idih, dasar gak punya fesyen. Kacamataku ini dibuat dengan teknologi yang canggih, tau!” lanjut Gilang.
“Hu…” seru mereka bersamaan.
“Aduh… kalian ini, kok malah main ejek-ejekan, sih,” kata Bu Ririn, datang membawa minuman untuk mereka. “Ayo, diminum dulu es buah yang tante buat,”
“Tante, nggak berubah ya. Selalu buat makanan dan minuman yang enak,” puji Reisha.
“Ya iyalah. Kalau makanan dan minuman tante gak enak lagi, aku pasti nggak akan datang ke sini,” canda Gilang.
“Oh jadi gitu. Seharusnya, tadi aku nggak usah nelpon kamu untuk datang kesini. Lain kali nggak usah datang, ya kalau cuma minta makan, doang,” jawab Ririn kesal.
“Duh… jangan marah, dong. Tadi aku cuma bercanda, kok. Ririn yang cantik dan baik hati, maafin aku, ya,” kata Gilang sambil menunjukan muka imutnya agar Ririn memaafkannya.
“Huh, dasar kau ini. Jangan bercanda kayak gitu, dong.”
“Iya, iya. Maaf, deh,” seru Gilang.
Ririn yang sudah tidak marah lagi, meninggalkan tempat duduknya dan pergi ke toilet.
“Mumpung dia nggak ada, yok, kita diskusiin gimana caranya kita ngerjain dia. Kan bentar lagi hari ulang tahunnya,” seru Dea.
“Iya, nih. Bagusnya kita kerjain kayak mana, ya? Oh, gimana kalau kita nggak usah ajak dia bicara aja,” usul Gilang.
“Ah, basi banget. Yang lain dong?” tolak Reisha.
“Gimana kalau begini aja…” Vino yang sedari tadi diam tiba-tiba mengusulkan suatu ide yang benar-benar gila.
Hari ulang tahun Ririn tepat pada tanggal 13 Januari nanti. Menurut Ririn, angka tanggal lahirnya membawa sial. Saat dia ulang tahun ke-12 nya dirayakan di Hotel berbintang lima, tiba-tiba saja acara itu harus dibatalkan karena Neneknya yang berada di Kalimantan sakit keras dan terus memanggil nama Ayahnya. Kejadian buruk pun terjadi setiap ulang tahunnya ingin dirayakan. Itulah sebabnya, dia tidak ingin merayakan ulang tahunnya dengan skala besar seperti anak orang kaya kebanyakan. Begitu juga hari ini. Ya, hari ini adalah ulang tahunnya yang ke-25. Pagi itu, dia berangkat ke kantor ayahnya untuk mulai bekerja di sana. Walau dia hanya mengenyam pendidikan tentang manga saja, tapi sebagai ahli waris dia juga harus bekerja di kantor Ayahnya, agar bisa melanjutkan bisnis semen yang ayahnya kerjakan. Selain itu, ibu Ririn menyuruhnya berangkat pagi sekali. Sesampainya disana, sekertaris ayahnya memperlihatkan tempat kerjanya. Ririn akan memulai pekerjaannya sebagai manajer keuangan.
Waktu sudah menunjukkan waktu 12 tepat. Ini saatnya bagi para pekerja kantoran untuk makan siang. Ririn yang masih baru dan tidak mengenal orang-orang di kantor ayahnya mengajak teman-temannya yang lain untuk makan siang. Dia mengambil ponselnya dan menelpon Dea,
“Halo, Dea?”
“Ya, ini Dea. Kenapa, Rin?
“Makan siang, yuk!” ajak Ririn
“Maaf, Rin. Bukannya aku nggak mau tapi, hari ini keluargaku ada yang datang dari Bengkulu, jadi mau kangen-kangenan dulu,” tolak Ririn halus.
“Ya nggak apa-apa, kok.” Klik! Ririn mematikan ponselnya. Dia berpikir daripada menelpon mereka satu-satu lebih baik dia kirim pesan teks saja. La la la la. Suara pesan terdengar dari ponsel Ririn. Ternyata, semua teman-temannya menolak ajakan makan siangnya karena sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan sedikit kesal, dia akhirnya makan siang sendirian di restoran yang dekat dengan kantornya. Selesai makan, dia memulai pekerjaannya lagi.
Dia melihat jam tangannya. Jam empat. Lama juga aku duduk batinnya. Terdengar nada dering ponselnya berbunyi dari dalam tasnya. Dia segera mengambil dan mengangkatnya,
“Halo?”
“Halo, Rin? Gawat, nih. Gawat…”
“Ga… gawat kenapa, Vin?” tanya Ririn gugup. Tak biasanya Vino khawatir seperti ini. Walau ada kejadian mengerikan seperti apapun dia akan bersikap santai.
“Gilang, Rin. Gilang. Dia lagi ada di rumah sakit sekarang…” jawab Vino dengan nada khawatir.
“Kenapa dia, Vin?” kata Ririn ikut khawatir akan keadaan temannya itu.
“Udah, kau kesini aja. Kami sekarang ada di Rumah Sakit Sejahtera di ruang UGD,” jawab Vino
“Oke, oke. Aku segera kesana,” kata Ririn. Buru-buru dia segera meninggalkan kantor.
“Maaf, aku telat. Gimana keadaan Gilang, Ea?” tanya Ririn saat dia sampai di depan pintu ruang UGD.
“Kita nggak tahu, Rin. Dia lagi ada di ruang operasi sekarang. Sebenarnya, kami berdua mau beliin kamu kado. Tapi, waktu dia mau menyeberang tiba-tiba mobil datang dan menyerempet dia,” kata Dea dengan muka tegang.
“Jadi, dia ketabrak mobil karena mau beliin aku kado?”
“Hmm…” jawab mereka.
“Kenapa selalu saja ada kejadian buruk dihari ulang tahunku. Selalu saja membawa sial,” kata Ririn kesal.
”Percuma aja kamu menyalahkan dirimu,” kata Vino, dari tadi dia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD.
Mereka pun menunggu Gilang dioperasi. Muka mereka semua sangat tegang. Jam telah menunjukkan pukul 11.00.
“Rin, sebaiknya kamu pulang. Ini sudah larut malam,” kata Reisha.
“Tapi…”
“Betul. Nak Ririn sebaiknya pulang. Tante dan Om bisa jaga Gilang, kok,” potong ibu Gilang.
“Tapi tante, saya masih mau disini,” sergah Ririn
“Rin, lebih baik dengar kata Tante Lina,” kata Dea.
“Ya sudah. Saya pamit tante,” Ririn pun meninggalkan ruang UGD.
“Mission start,” kata Vino saat memastikan bahwa Ririn sudah pergi dari Rumah sakit tersebut.
Di jalan lagi-lagi Ririn terjebak macet. Hari ini benar-benar sial baginya. Setengah jam kemudian, dia sudah sampai di rumahnya. Ting tong. Dia pun membunyikan bel pintu. Bi Minah membukakannya pintu dan mempersilahkannya masuk. Kejadian hari ini membuatnya sangat capek. Rasanya ingin sekali menangis atas kejadian yang dialami Gilang. Di dalam hatinya, dia terus menyalahkan dirinya. Segera dia ke kamarnya untuk beristirahat dan berdoa agar Gilang bisa selamat. Saat dia membuka kamarnya… Pussh! Tepung jatuh dari atas dan menyirami dirinya.
“Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun
Selamat ulang tahun, Ririn. Selamat ulang tahun,” lagu Selamat Ulang Tahun pun terdengar dari dalam kamarnya. Ibunya yang sedang memegang kue, menyuruhnya untuk meniup lilin diatasnya. Phuuh…
“Yeah…” sorak mereka semua.
“Oh… Tuhan. Jadi, kalian ngerjain aku!” ucapnya kesal. Di lihatnya seluruh teman-temannya, tak terkecuali Gilang yang masih sehat.
“Jangan salahin aku, ya, Rin. Ide gila ini Vino yang buat,” kata Gilang saat dia tahu bahwa Ririn menatapnya.
“Oke. Tapi bagaimana caranya, kalian bisa sampai duluan daripada aku?” kata Ririn.
“Itu, mah gampang bagi seorang Dea. Sebenarnya mobil-mobil yang ada di depan dan belakang kamu itu mobil teman-temanku. Saat kamu lagi di dalam kemacetan itulah saatnya kami pergi kerumahmu dengan kecepatan penuh,” jelas Dea dengan bangganya.
“Wah, hebat juga ide kalian. Pantesan kalau dipikir-pikir lagi nggak mungkin ada pasien gawat darurat sampai berjam-jam dioperasi. Palingan cuma tiga jam paling lama,” kata Ririn.
“Hehe. Untung aja aku dibolehkan pake ruang itu sama pak kepala. Tapi, sebenarnya itu bukan ruang UGD, loh. Hanya saja dulu pernah dijadikan ruang UGD,” jelas Vino. Dalam hati, dia sangat berterima kasih kepada kepala rumah sakit dimana dia bekerja. Kalau bukan karena dia idenya ini tidak akan bisa direalisasikan.
“Sudah, sudah. Yok, kita makan kue aja,” kata ibu Ririn.
“Oke. Ayo, semua, kita makan!” ucap Gilang semangat.
“Haha…” mereka semua tertawa melihat tingkah gilang yang bersemangat. Mereka segera turun ke ruang makan dan disana tersedia berbagai makanan yang enak.
“Rin, boleh tahu harapan kamu tadi apa waktu mau niup lilin?” tanya Reisha penasaran
“Mau tau aja,” kata Ririn sembari berlalu.
Harapan yang tadi kuucapin adalah kita akan selalu bersama dan tidak akan berpisah lagi seperti dulu. Tapi, jika Tuhan memisahkan kita, aku berharap yang berpisah hanya raga kita bukan hati kita. Batin Ririn.
separador

1 komentar:

Anonim mengatakan...

yow~
great as usual ;)keep growing

Posting Komentar

Visitor

Pages