Followers

Sabtu, 13 Agustus 2011

Piano yang berdenting

Diah Eka Puteri

Tinu ni nu ni nu… sirene ambulans dan mobil pemadam kebakaran mulai terdengar dari arah barat jalan, seorang gadis remaja yang mendengarnya hanya bisa terdiam di dekat jalan yang ramai akan orang – orang sekitar. Dia mulai sadar bahwa dia hanya sendirian berdiri. Dimana ibunya? Dimana ayahnya? Dia melihat sekelilingnya, tapi yang ada hanya orang – orang yang tidak dikenalnya.
Tiba – tiba terdengar suara laki – laki dari sebuah rumah yang terbakar yang berdekatan dengan gadis itu. “pergilah dari situ, lindungi dirimu”.
Gadis itu melihat laki – laki yang sedang berbicara padanya. Wajah orang itu sudah tidak asing baginya yaitu dengan kerutan di bagian dahi wajahnya yang tua.
“lalu, bagaimana dengan ayah? Bagaimana dengan buku – buku itu? Aku ingin mengambilnya.”
“jangan! Kamu pergilah mencari bantuan, biar Ayah yang mengambil buku lagumu yang berharga itu..” kata laki – laki itu. Setelah itu dia menghilang oleh reruntuhan api.
“Tidak…. Ayah!” jerit gadis itu.
***
“Hana, apa yang kau lakukan di sana? Ayo cepat, nanti kita akan ketinggalan bus.” Kata seorang wanita tua yang kira – kira berumur 30 tahun. Gadis remaja yang berumur 16 tahun itu, hanya diam sambil melihat abu - abu yang berterbangan. Abu - abu itu berasal dari tempat yang dulu dia tinggali bersama keluarganya. Tempat dimana dia mendentingkan suara - suara piano yang indah dan merdu. Tapi, tempat dan piano itu harus menghilang bersama abu karena kebakaran yang terjadi kemarin malam. Mengingat itu semua, Hana hanya bisa diam karena dia sudah capek untuk menangis. Piano yang selalu menemaninya harus pergi bersama dengan Ayahnya. Ibunya tiba – tiba mengagetkannya,
, “Ayo, kita tak punya banyak waktu.” Hana segera mengambil tasnya dan meninggalkan tempat itu, dia ingin sekali melupakan semua kenangan yang ada di tempat itu. Dan juga melupakan impian – impiannya.***
Pagi hari yang cerah, Hana terbangun dari tidurnya yang lelap. Dia segera mandi dan memakai seragam sekolahnya yang baru, sekarang dia bersekolah di SMA 135 Bekasi dan tinggal bersama Bibinya. Sedangkan, Ibunya harus tinggal di Jakarta karena dia bekerja sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan di sana. Setelah selesai menggunakan seragam putih abu – abunya, dia menyisir rambutnya yang panjang dan mengikatnya, dia lalu membereskan tempat tidurnya dan segera menyiapkan sarapan untuk Bibi dan sepupu laki – lakinya.
“sarapannya udah siap, ya?” kata Dion. Hana tidak menjawab, dia tidak pernah berbicara dengan Dion, tetapi Dion selalu mengajaknya bicara walau akhirnya tak ada jawaban sama sekali dari orang yang diajak bicara. Bibi Anti juga sudah berada di meja makan, mereka pun sarapan dalam diam. Setelah selesai sarapan Hana dan Dion pergi bersama ke sekolah dengan berjalan kaki. Letak SMA 135 tidak jauh dari rumah Dion hanya sekitar 400 meter dari rumahnya.
SMA 135 Bekasi adalah sekolah yang sangat mengutamakan kualitas, Hana bisa masuk ke sekolah itu karena beasiswa yang dia dapat. Sebenarnya Hana bisa saja masuk sekolah itu tanpa beasiswa karena Bibinya pasti akan membayar biaya sekolahnya, tetapi dia tidak ingin merepotkan Bibi Anti terus. Hari ini Hana akan melakukan memperkenalkan dirinya kepada teman - teman barunya seperti yang biasa dilakukan sebagai murid baru. Dia masuk ke kelas bersama wali kelasnya, yaitu wali kelas XII IPA 2, Pak Ranggo. Anak kelas XII IPA 2 yang mulanya ribut, tiba – tiba diam ketika Pak Ranggo masuk.
“selamat pagi anak – anak, Bapak akan memperkenalkan kepada kalian anak baru. Dia ini pindahan dari Jakarta. Ayo, perkenalkan dirimu!” kata Pak Ranggo sambil mempersilahkan Hana. Hana pun berdiri di depan kelas dan berkata
“namaku Hana Gensha, senang bertemu kalian”. Anak kelas XII IPA 2 sangat senang karena ada anak baru yang masuk di kelas mereka setelah 1 bulan kelas mereka hanya ada 29 siswa, jadi jika ada pembagian kelompok pasti ada saja yang tidak mendapat kelompok.
“Baiklah Hana, kamu boleh duduk sekarang di samping Lisa.” Kata Pak Ranggo sambil menunjuk tempat duduk Hana. Pelajaran pertama ini diawalinya dengan lamunan dan Pak Ranggo tidak ingin menegurnya karena dia tahu apa yang pernah terjadi pada Hana dulu.
Bel berbunyi, Dion mendatangi kelas Hana dengan membawakan beberapa makanan ringan dan minuman bersoda. “ini untukmu, ayo makanlah” kata Dion sembari memberikan makanan ringan dan minuman itu, Hana pun menerimanya dan tersenyum kepada Dion. Mereka pun makan dalam diam. Siswi kelas XII IPA 2 yang melihat Dion memberikan makanan dan minuman kepada Hana sangat marah dan cemburu kepada Hana. Maklum Dion adalah siswa yang terkenal keren di kalangan siswi – siswi SMA 135 Bekasi.
huh, enaknya si Hana di kasih minuman dan makanan sama si Dion. Iri deh.” Kata Marisa, salah satu siswi kelas XII IPA 3. Sebenarnya Hana mendengar apa yang dikatakan Marisa tapi dia hanya cuek. Di sekolahnya yang baru ini dia tidak ingin mencari musuh dan juga tidak ingin mencari teman, dia hanya ingin sendiri. Ting tong… bel masuk pun berbunyi, “nanti kita sama – sama pulang ya.” Kata Dion.
“tidak, kau pulang sendiri saja nanti,” jawab Hana.
“kenapa? Apa kau merasa terganggu jika pulang denganku?” Tanya Dion
“aku tak ingin melihat fans – fansmu cemburu melihat kau dan aku pulang bersama.”
“haha… kau ini jangan mendengarkan mereka. Nanti aku akan kesini menjemputmu pulang. Ok.” Dion pun pergi
Hana tidak menggubrisnya, dasar anak aneh kata Hana dalam hati. Dia tersenyum melihat Dion pergi dari kelasnya. Setelah itu Pak Surya, guru kimia yang terkenal galak masuk dan mengadakan tes dadakan.
***
Beberapa bulan sudah dilewatinya bersama Bibi Anti, Dion dan teman – temannya. Tapi, hatinya masih sama saja waktu pertama dia bertemu mereka semua, kesedihan. Hari itu adalah hari minggu. Biasanya, di hari Minggu anak – anak muda banyak melewatkan harinya dengan bersenang – senang dengan pergi ke mall, taman ria, maupun bioskop, tapi hari itu cuaca sangat tidak mendukung untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan di luar rumah. Hujan gerimis turun sejak pagi membuat orang yang tidur di tempat tidurnya menarik selimutnya sehingga mereka dapat terus tidur dengan nyaman. Karena hal ini juga banyak orang yang akan terlambat bangun. Tak terkecuali Dion. Hari itu Dion bangun jam 10 pagi, hujan saat itu sudah mulai reda. Dia segera mandi dan membereskan tempat tidurnya. Perutnya mulai terasa lapar, dia segera pergi ke meja makan untuk sarapan. Di atas meja sudah tersedia nasi goreng dengan telur mata sapi serta segelas jus jeruk. Hmm ini baru enak, kata Dion dalam hati.
“Ma, Hana dimana?”
“gak tau. Dia bangunnya pagi banget. Tadi mama lihat dia ada di teras rumah melamun. Mungkin dia lagi di ruang kelurga nonton tv, kan biasanya dia nonton kalau jam segini.” Jawab Mama Dion dari halaman belakang. Dia sedang asyik menyirami tanaman – tanaman koleksinya, yang mungkin harganya sudah mencapai belasan juta.
“oh, ya udah.” Setelah menyelesaikan sarapan yang tidak bisa dibilang pagi itu, Dion segera ke ruang keluarga, dilihatnya Hana sedang menonton. Tapi setelah dilihat sekali lagi, ternyata Hana tidak sedang menonton tv, melainkan matanya menerawang ke atas dengan muka yang tanpa ekspresi alias melamun. Dion pun ingin mengagetinya, tapi dia takut akan dimarahi olehnya. Karena jika Hana marah, tiba – tiba saja di sekelilingnya akan terasa horror. Sebelum Dion mengagetinya, Hana sudah melihatnya dan menyuruhnya duduk disampingnya.
“kau pasti ingin mengagetiku, kan?! Dasar kau. Oh ya apakah di sekitar sini tidak ada tempat yang tenang?” Tanya Hana.
“kurasa ada. Di dekat sini ada taman yang rindang. Mau coba kesana?” piker Dion.
“boleh. Sekarang aja ya.”
“Apakah ini ajakan kencan?” goda Dion.
“heh… tentu saja bukan. Kalau kau tak mau juga tidak apa – apa kok. Aku bisa bertanya pada Bibi dimana taman itu.”
“ya ya, aku ‘kan hanya bercanda. Lagipula mamaku tidak tahu dimana taman itu. Itu taman rahasia yang aku temukan waktu SMP.” Jawab Dion
“taman apaan sih? Mama juga pengen tahu.” sahut Bibi Anti yang baru datang dari taman belakang.
“bukan apa – apa kok, Bi”
“bukan apa – apa kok, Ma” jawab Hana dan Dion bersamaan.
“ih… sudah akrab ni ye… hahaha” goda Bibi Anti.
Akhirnya mereka pun berpamitan kepada Bibi Anti dan pergi ke taman rahasia Dion.
***
“wow. Ini keren banget. Dan… dan udaranya. Hmmm segar sekali.” Jawab Hana yang sedari tadi terkagum – kagum dengan taman rahasia Dion.
“oh… tentu siapa dulu yang nemuin, Dion. Di sini udaranya segar kalau habis hujan. Dan satu lagi, pemandangan dari atas gunung ini, benar – benar indah banget” kata Dion sambil membangga – banggakan taman yang dia rahasiakan itu sejak SMP.
“waktu SMP aku sering banget kesini. Habis pulang sekolah, habis dimarahi mama, atau habis dipukulin teman, aku pasti kesini. Kau juga pastinya tahu kan kalau rumah tangga orang tuaku nggak harmonis, jadi kalau mereka bertengkar di rumah, aku bakal lari kesini. Nggak peduli mereka mau marah sama aku nantinya” kata Dion mengingat masa lalunya.
“kenapa?” Tanya Hana.
Dion bingung dengan pertanyaan Hana. “maksudnya?”
“kenapa… kenapa kau begitu menyukai tempat ini? Pasti ada sesuatu yang lain yang membuatmu menyukai tempat ini” jelas Hana.
“hmm… sepertinya kau dapat membaca pikiran orang. Ya, seperti yang kau tahu tempat ini benar – benar indah dengan ada jembatan di atas sungai yang baru kita lalui tadi. Pohon – pohon yang hijau, udara yang segar, dan suara burung yang berkicau. Dan yang membuatku tambah kagum lagi dari tempat ini adalah dari atas gunung yang tinggi ini kita bisa melihat semua rumah orang dari sini. Tapi, bukan karena itu saja, aku punya kenangan manis di sini, bersama pacarku waktu SMA kelas X. Dia benar – benar cewek yang ceria, dan senyumannya membuat hidupku terasa lebih nyaman” kata Dion sambil tersenyum.
“jadi aku bukan cewek pertama yang kau ajak kesini?” tanya Hana dengan nada sedikit cemburu.
“memang kenapa? Kau cemburu, ya? Hehe” goda Dion sambil melihat muka Hana.
“hah… untuk apa cemburu. Memang kau siapaku?” kata Hana, mukanya menjadi merah mendengar kata – kata Dion.
“haha mukamu merah tuh. Sudah ah, semua ceritaku tadi bohong kok. Sebenarnya aku belum pernah pacaran. Aku kesini karena aku suka dengan pemandangannya.”
“dasar kau pembohong. Sini kau, biar kuhajar.” Kata Hana.
Mereka berdua pun berkejar – kejaran. Tiba – tiba terdengar sayup – sayup suara piano yang indah dan merdu dari kejauhan.
When you forget me
When you don’t remember my name
Not even a memory
Somewhere in the back of my brain
I won’t be offended
Cause I’ll always know that the day
Will come when I’m not enough to make you stay…
Lagu “Falling Stars” dari David Archuleta itu menjadi lembut di telinga pendengar dengan dentingan piano itu.
“oh ya, aku juga suka tempat ini karena setiap aku datang kesini, pasti ada suara piano yang merdu dari rumah yang ada di dekat jembatan yang kita lalui tadi” jawab Dion.
Hana berhenti mengejar Dion dan mulai memejamkan matanya. Dia pun mendengar dentingan piano – piano itu. Dion melihat Hana dan bertanya,
“ada apa? Apa kau baik – baik saja.”
“ngg… aku tak apa – apa, tapi suara piano ini, benar – benar suara yang aku rindukan” jawab Hana. Sebenarnya, dia ingin sekali melupakan cita – cita sebagai pianis yang terkenal sampai ke Internasional tetapi hatinya tidak bisa. Suara hatinya pun menyuruhnya berlari ke tempat dimana asal suara piano tersebut. Hana merasa kakinya bergerak sendiri, dia pun mulai berlari menuju rumah dekat jembatan itu. Dion yang berada di sebelah Hana kaget, “ Hana, tunggu!”
Hana pun berhenti di depan rumah kayu yang desainnya sangat minimalis. Dia terpaku mendengar permainan piano gadis kecil di depan teras rumah itu. Indah. Menawan. Banyak kata yang tak bisa diungkapkan dari suara piano yang dia mainkan sekarang itu. Tiba – tiba suara piano itu berhenti, dan terdengar suara manis,
“bukannya kau kak Hana?” tanya gadis kecil itu. Gadis kecil itu melihat muka Hana lebih dekat lagi.
“ya, ya kau pasti kak Hana Gensha, pianis yang sudah melakukan konser mini di Balai Sarbini itu, kak Hana yang aku idolakan selama ini. Wah… tak kusangka kakak ada disini, mendengar suara pianoku. Halo kak, namaku Karla, aku kelas 5 SD.” kata gadis kecil yang bernama Karla itu. “ibu, ibu lihat ada kak Hana disini. Ayo cepat kesini.”
Dion akhirnya sampai di rumah Karla dengan napas yang terengah – engah.
“Hana, kau ini tidak…” Sebelum Dion menyelesaikan omongannya Hana segera berlari lagi. Saat itu Dion melihat mata Hana mengeluarkan butir – butir air dari matanya, dia bertanya dalam hati apa Hana sedang menangis, baru kali ini dia melihat Hana menangis. Ibu Karla yang tadi dipanggil pun sudah datang dari dalam rumah.
“mana Kar, Hana yang kau idolakan itu?” tanya Ibu Karla.
“baru saja dia berlari bu. Aku sangat senang melihatnya. Ternyata dia sangat cantik kalau dilihat secara langsung daripada melihatnya di tv.” jawab Karla.
“maaf ya bu, dia memang begitu. Dia punya masa lalu yang buruk dengan piano.” Kata Dion sambil memohon maaf.
“hah, kok aku baru tahu kak Hana punya masa lalu yang buruk? Padahal aku selalu mencari berita tentang dia di internet. Itu berarti aku bukan fans nomor satunya, dong.” kata Karla, setelah Dion menceritakan kejadian yang di alami Hana satu bulan yang lalu.
“mukamu jangan cemberut seperti itu, dong.” Kata Dion sambil mengusap rambut Karla. Saat itu mereka sedang duduk di teras rumah Karla,
“sebaiknya aku mencari Hana, aku takut sesuatu terjadi padanya.” Kata Dion
“sepertinya, kak Dion sangat mengkhawatirkan kak Hana. Kakak suka, ya sama kak Hana?” tanya Karla.
“huss… anak kecil kok, udah tau suka – sukaan. Maaf ya, nak Dion. Ya, sudah kamu segera cari Hana.
“Iya bu, saya pamit dulu. Dah, Karla.”
***
Hana berdiri diatas gunung dan memandangi pemandangan yang tak bisa dilihatnya di Jakarta itu. Dia melihat kebawah dengan wajah ragu – ragu dan berpikir, apakah aku harus melakukan ini atau tidak? Aku benar – benar merasa bersalah. Aku adalah anak yang egois, hanya memikirkan diri sendiri, sehingga membuat Ayahku harus mengorbankan nyawanya hanya demi sebuah buku lagu yang sangat tidak penting itu? Dasar buku sampah. Ayah sudah mengorbankan nyawanya, sebaiknya aku juga harus mengorbankan nyawaku ini. Sebelum Hana melompat tiba – tiba saja dari belakangnya sudah ada orang yang menariknya , “apakah kau bodoh? Kau ingin taman rahasia yang sudah membuatku senang ini menjadi tempat yang membuatku sedih karena dirimu?” kata Dion, Hana tak pernah melihat Dion semarah itu. Hana memang pernah dimarahi oleh Dion karena masuk kekamarnya tanpa izin, tapi kali ini Hana bingung kenapa Dion bisa semarah itu.
“kenapa kau mencegahku? Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku hanya bisa menyusahkan kau, Bibi Anti, dan Ibuku. Lagipula aku ini bukan siapa – siapamu? Jadi kau tak perlu semarah itu.” teriak Hana.
“BODOH. Dasar bodoh. Kau tanya kenapa? Tentu saja… tentu saja karena aku… aku cinta sama kamu.” jawab Dion lirih.
Mendengar hal itu, Hana terduduk dan menangis sejadi – jadinya.
“seharusnya aku yang berkata bodoh kepadamu.”
“sudahlah, sebaiknya kita pulang saja. Hari sudah tambah panas.” kata Dion mengajak Hana pulang. Mereka pun pulang dan Bibi Anti menyambut mereka dengan muka bingung karena Dion dan Hana terus berpegangan tangan.
***
Semenjak kejadian itu, Hana dan Dion selalu bersama, teman – teman SMA-nya banyak yang bertanya – tanya tentang hubungan mereka, karena jika mereka ditanya apakah kalian pacaran mereka akan menjawab tidak tahu. Libur semester telah tiba, Dion, Bibi Anti dan Hana pergi ke Jakarta. Tujuan utama Hana adalah berziarah ke makam ayahnya.
Dion dan Hana pun pergi ke Makam ayah Hana. Mereka pun menaburkan bunga diatas makam tersebut dan berdoa. Saat Hana berdoa dia merasa ada seseorang yang membisiki telinganya. Hana jangan bersedih terus. Ayah! Muka Hana pucat seketika. Ayah juga akan ikut sedih. Jangan menghapus impianmu juga sebagai pianis, kalau kamu menghapusnya Ayah tidak akan tenang di Sini.
“Ayah?” kata Hana.
“ada apa, Han?” tanya Dion
Hana menatap muka Dion dan tersenyum, “bukan apa – apa, kok. Ayo pulang.”
“senyummu manis sekali, penghuni – penghuni disini bakal suka sama kamu nanti kalau senyumannya kayak gitu.” kata Dion.
“ihhh… serem. Udah ah.” kata Hana sambil pura – pura merinding
Mereka pun pulang.
***
“terima kasih kepada Bapak Kepala Sekolah SMA 135, Bapak-Ibu guru yang sudah membimbing kami hingga lulus, orang tua kami yang selalu mendukung kami, dan juga adik – adik kelas yang selalu kami cintai dan banggakan. Akhir kata saya ucapkan mohon maaf jika ada salah kata dan terima kasih. Selamat Pagi.” Kata Beni, anak kelas XII IPA 1 yang terpilih sebagai siswa teladan tahun ini.
“ya itulah kata sambutan dari Kakak kelas XII beri tepuk tangan. Sekarang kita akan mendengarkan persembahan dari Hana Gensha dengan teman Duetnya, Karla! Beri tepuk tangan yang meriah!” kata pembawa acaranya. Semua orang bertepuk tangan. Hana dan Karla pun naik ke atas panggung. Ting ting ting. Terdengar lagu “Chopin: Wailz in D-flat major, Op. 64 No. 3” dengan merdunya.
separador

0 komentar:

Posting Komentar

Visitor

Pages